Jumat, 14 Agustus 2009

PENYAKIT AMINISTRASI SEBAGAI SEBUAH KENYATAAN YANG MELEKAT DALAM ORGANISASI DAN UPAYA PENANGANNYA

Oleh : H. Mulkanasir, BA., S.Pd., MM.
( Dosen Jurusan Manajemen Dakwah Fakultas Dakwah dan Komunikasi)

I. PENDAHULUAN

الحمدلله رب العا مين والصلاة والسلام على اشرف الانبيا والمرسلين وعلى اله وصحبه اجمعين

Dengan memanjatkan puja dan puji syukur kehadirat Allah Swt., saya bersyukur bahwa dengan berkat ‘inayah dan pertolonganNya dapat menyusun sebuah uraian makalah berjudul “ Penyakit Administasi Sebagai Kenyataan Yang Melekat Dalam Organisasi dan Upaya Penanggulangannya”. Judul ini sengaja penulis susun dengan tujuan kiranya dapat memberikan sebuah wacana bagi para birokrat khususnya para pejabat yang berkiprah dalam jajran Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan umumnya bagi Perguruan Tinggi Islam lainnya di seluruh Indonesia terlebih bagi para Birokrasi di Jajaran Departemen Agama RI.
Uraian dalam mkalah ini mengambarkan bagaimana fenomena yang muncul dan terjadi di kalangan birokrasi secara luas tentang hambatan-hambatan dan masalah-masalah yang timbul dan menjadikan birokrasi berada pada kondisi porak poranda tidak memiliki konsitensi dan kredibilitas di mata publik. Masalah-masalah dan hambatan-hambatan tersebut diakibatkan oleh karena persoalan patologi dalam administrasi biroktrasi yang telah melanda dan mempengaruhi kerja birokrasi secara keseluruhan. Ternyata penyakit Administrasi adalah merupakan salah satu biang keladi terjadinya kerusakan atau penyakit seara keseluruhn bagi birorasi di Indonesia.
Dalam makalah ini penulis mencoba mengurai bagaimana solusi bagi pembenahan dan penyembukan penyakit administrasi yang telah sangat memberikan pengaruh yang tidak meuntungkan bagi proses kerja birokrasi di Indonesia. Semoga bermanfaat. Amien.

II. PERMASALAHAN.
Hampir setiap organisasi yang terbangun dan tersebar di dunia ini memiliki tujuan yang mulya dan biasanya tujuan tersebut teraplikasi dalam sebuh visi, misi dan program kerja yang jelas. Implikasi dari visi dan misi serta program kerja inilah yang kemudian muncul dalam semua gerak dan langkah organisasi yang tetap mengacu dan berdasar pada lingkup ini. Kondisi inilah yang dikatakan bahwa organisasi berjalan sebagaimna mestinya sesuai dengan tujuan yang diiginkan oleh pendiri orgnisasi. Untuk mencapai sebuah tujuan sebagaimana diinginkan organisasi tidak bisa berjalan begitu saja tanpa adanya unsur lain yang menunjang yaitu sebuah kerja sama manusia sedikitnya dua orang atau lebih yang masing-masing memiliki komitmen untuk mencapai tujuan organisasi lebih efektif dan effisien . Kerja sama manusia dua atau lebih seperti inilah yang biasa kita sebut sebagai proses kerja administrasi dalam arti yang luas. Sampai di sini barag kali kita dapat memahami bahwa sesungguhnya proses administrasi mempunyai arti yang sangat penting bagi jalan dan tidaknya sebuah organisasi.
Secara terpisah administrasi sendiri juga tidak selamanya dapat berjalan sebagaimana mestinya, sehingga muncul sebuah hasil dari sebuah proses administrsi yang tidak efektif dan tidak pula effisien. Munculnya sebuah proses administrasi yang tidak semestinya ini bisa terjadi karena adanya pengaruh negatif faktor-faktor lingkungan baik internal maupun ekternal administrasi dan manajemen. Pengaruh negatif yang sangat kuat terhadap proses kerja administrasi akan menimbulkan hambatan-hambatan adminitrasi, dan hambatan ini tekadang bisa sangat kuat sehingga menjadi sebuah fenomena yang sangat merugikan bagi proses administrasi. Dalam kondisi semacam ini kita bisa menyebut sebagai sebuah penyakit dalam adminitrasi atau lebih tepatnya disebut sebagai penyakit adminitrasi. Fenomena semacam ini sering kita jumpai dalam proses kerja administrasi terutama di jajaran birokrasi di Indonesia dan terlebih dalam jajaran kepartean di Indonesia mamaupun di jajaran-jajaran organisasi besar yang berkembang di Indonesia.
Kita sadari atau tidak fenomena maraknya penyakit adminitrasi pada jajaran birokrasi dan jajaran kepartaian dan di sebahagian jajaran organisasi besar yang berkembang di Indonesia menjadi sebuah persoalan yang harus ditangani dengan sungguh-sungguh karena diterima atau tidak bahwa administrasi merupakan sebuah sistem yang sangat berpengaruh bagi organisasi apapun. Pernyataan ini bukan idak beralasan, namun hal ini dikuatkan dengan sebuh fakta bahwa administrasi memiliki dua fungsi yang sangat penting yaitu pertama administrasi memiliki fungsi primer yang memiliki fungis manajerial, yang berkeja dalam tataran konsep, pengaturan dan perenanaan, kedua memiliki fungsi skunder yang tidak juga kalah pentingnya sebagai sebuah kerja penunjang dalam persoalan-persoalan ketata-usahaan. Kedua fungsi tersebut sangat berpengaruh bagi proses kerja organisasi secara keseluruhan.
Kenyataan kita dapat saksikan banyak organisasi di dunia yang mati atau dalam kata lain tidak bergerak sama sekali karena kedua fungsi administrasi yang melekat tersebut tidak berfungsi dengan baik yang diakibatkan karena munculnya penyakit dalam tubuh administrasi.

III. PEMBAHASAAN.
1 . Pengertian.

Sebelum penulis mencoba membahas lebih jauh maka yang terpenting adalah memahami terlebih dahulu apa itu administrasi agar pembahasan dalam persoalan ini lebih jelas dan lebih fokus. Secara etimogis administrasi beasal dari bahasa Latin yang terdiri dai kata ad + ministrare yang secara operasional berarti melayani, membantu dan memenuhi. Dalam bahasa Belanda digunakan dengan kata Administratie masih pada pengertian ketatausahaan saja dan dapat menimbulkan gambaran yang keliruterhadap kata administrasi, ini yang kemudian dikenal sebagai administrasi alam arti sempit.
Dalam Bahasa Inggris administrasi biasa disebut dengan administration memiliki arti yang sangat luas, di sinilah banyak para ahli berpendapat, mereka mengemukakan pengeretain administrasi secara luas, diantara mereka adalah Prof. Dr. Hadrawi Nawai mengemukakan lebih khusus tentang Ilmu Administrasi. Menurutnya Ilmu Administrasi adalah sebuah ilmu yang membahas secara teoritis tentang proses pengendalian keja sama sejumlah manusia di dalam sebuah organisasi (1994.24). Sementara menurut Leonard D. White, dia mengemukakan sebagain berikut : “ Administration is a process common to all group effort, public or private, civil or military, lerge scale or small scale ” artinya administrasi adalah sebuh proses yang pada umumnya tedapat pada semua usaha kelompok negara atau swasta, sipil atau ,militer, baik usaha yang besar atau usaha yang kecil. Pendapat lain dikemukakan oleh H.A. Simon dan kawan-kawan, katanya : “Administration as the activites of groop cooperating to accomplish common goals” artinya : Administrasi adalah merupakan kegiatan kelompok dimana masing-masing menyelenggarakan kerja sama untuk mencapai tujuan tertentu. Yang terakhir pengertian administrasi juga dikemukakan oleh William H. Newman sebgai berikut : “ Administration has been defined as the guidance, leadership and control of the effort of a group of individuals towards some common goal” artinya : Administrasi adalah sebagai sebuah bimbingan, kepemimpinan dan pengawasan terhadap adanya usaha-usaha kelompok individu-individu guna tercapinya usaha bersama.
Demikian uraian singkat tentang pengertian administrasi baik administrasi dalam arti yang sangat sempit maupun daministrasi dalam arti yang luas. Atas dasar pengertin adminsitrasi secara luas ini dapatlah disimpukan bahwa administrasi ternyata memiliki ciri-ciri yang mengindikasikan sebuah proses kerja adminitrasi. Adapun ciri ciiri adminitrasi seara garis besar dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama adanya kelompok manusia yaitu kelompok yang terdiri atas dua orang atau lebih, kedua adanya kerja sama dari kelompok tersebut, ketiga adanya sebuh kegiatan atau proses atau usaha yang dilakukan oleh keompok keempat adanya sebuah leader ship ( kepemimpinan ) dan pengawasan dan yang kelima adalah adanya sebuah tujuan ( goal ). Sampai di sini kiranya dapat dipahami bahwa sesungguhnya organisasi apapun yang berkembang di dunia ini baik oraganisasi besar maupun kecil tidak dapat dipisahkan dengan masalah-masalah kelompok, kerja sama, kegiatan, kepemimpinan dan tujuan. Dus dengan dengan demikian maka dapat diktakan pula bahwa organisasi tidak dapat dipisahkan dengan apa yang disebut adminitrasi, karena organisasi akan saja selalau sarat dengan persoalan-persoalan administrasi. Untuk memahami masalah ketidak mungkinan pemisahan antara organisasi dan adminitrasi maka perlu kiranya dipahami seperti apa sesungguhnya hubungan antara adminitrasi dengan organisasi dan manjemen.
Penyakit administrasi atau patologi administrasi jika di kaitkan dengan ilmu kedokteran, difahami bahwa patologi sebagai sebuah penyakit yang melekat pada organ seseorang yang membuat orang itu mengalami disfungsi. Meminjam metafor kedokteran, patologi birokrasi atau patologi adminisrasi disini dipahami sebagai penyakit yang melekat dalam suatu organisasi birokrasi yang membuat birokrasi menjadi disfungsional. Sampai di sini diketahui bahwa penyakit administrasi atau patologi administrasi kebanyakan timbul di kalangan organisasi birokrasi. Oleh karena itu muncul perkataan Patologi Birokrasi (Bureaucracy pathology) yaitu merupakan himpunan dari perilaku-perilaku yang kadang-kadang disibukkan oleh para birokrat. Patologi birokrasi digambarkan oleh Victor A Thompson seperti sikap menyisih berlebihan, pemasangan taat pada aturan atau rutinitas-rutinitas dan prosedur-prosedur, berlawanan terhadap perubahan, dan desakan picik atas hak-hak dari otoritas dan status.
Pakar yang lin menytakan bahwa patologi merupakan bahasa kedokteran yang secara etimologi memiliki arti “ilmu tentang penyakit”. Sementara yang dimaksud dengan birokrasi adalah : "Bureaucracy is an organisation with a certain position and role in running the government administration of a contry" (Mustopadijaja AR., 1999). Dengan demikian dapat dilihat bahwa birokrasi merupakan suatu organisasi dengan peran dan posisi tertentu dalam menjalankan administrasi pemerintah suatu negera. Prof. Dr. Sondang P. Siagian, MPA., (1988) mengatakan bahwa pentingnya patologi ialah agar diketahui berbagai jenis penyakit yang mungkin diderita oleh manusia, Analogi itulah yang berlaku pula bagi suatu birokrasi. Artinya agar seluruh birokrasi pemerintahan negara mampu menghadapi berbagai tantangan yang mungkin timbul baik bersifat politis, ekonomi, soio-kultural dan teknologikal. Risman K. Umar (2002) mendifinisikan bahwa patologi birokrasi adalah penyakit atau bentuk perilaku birokrasi yang menyimpang dari nilai-nilai etis, aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan perundang-undangan serta norma-norma yang berlaku dalam birokrasi.
2. Hubungan Administrasi dengan Organisasi dan Manjemen

Administrasi adalah sebuah fenomena yang tersitem dan secara teoritis maupun praktis dibutuhkan dan dilakukan ole kelompok manusia dari zaman ke zaman, baik dari zaman pra sejarah, zaman sejarah sampai abad modern sekarang ini. Hubungan antara administrasi dan organisasi bisa diibaratkan seperti sebauah alam yang terdiri dari musim-susim dimana alam tersebut dibutuhkan oleh bumi yang dihuni manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan. Bumi tidak dapat terpisah dari alam ini. Oleh karena itu alam harus terjaga dengan baik dan ekosistem harus terpelihara sehingga akan menghasilkan kebaikan bagi penghuni bumi ini. Untuk memperoleh gambaran lebih jelas kita lihat gambar 1 sebagai berikut :








Gambar 1
Sumber : Handayaningrat Soewarno : h.7

Melihat gambar tersebut dipahami bahwa adminitrasi berada pada posisi yang sangat luas melingkupi semua sistem kehidupan manusia yang terjadi di alam ini, sementara semua sitem kehidupan manusia harus terbentuk sedemikian rupa melalui berbagai bentuk dan jenis kegiatan, agar administrasi menjadi sebuah nilai yang dibutuhkan oleh sitem kehidupan manusia tersebut. Sistem yang diamksudkan sini adalah diantaranya organisasi, di mana organisasi merupakan wadah yang terbentuk sebagai sebuah kancah yang tersistem, di dalamnya terdapat struktur-struktur yang menunjukkan sistem pembagian kerja dan job kerja tertentu yang secara keseluruhan dimaksudkan untuk mencapi tujuan tertentu, sesuai dengan maksud dan tujuan didirikanya organisasi. Intinya organisasi sebagai wadah atau tempat kerja sama manusia dan sebagai motor penggeraknya adalah manusia. Untuk menggerakkan sebuah oragnisasi manusia perlu melakukan kerja sama dengan sesamanya, tanpa kerja sma ini maka organisasi akan menjadi mati dan tidak bisa bergerak. Ini artinya bahwa organisasi merupakan sebuah sitem yang tidak dapat telepas dari persoalan administrasi. Manajemen juga merupakan fenomena dari sebuah sitem yang berkembang di kalagan manusia di mana sitem ini menekankan kepada persoalan yang menyangkut fungsi perencanaan, pengorgnisasian, aktifitas, dan control. Secara singkat dapat dikatakan bahwa manjemen sebagai serangkaian tahap kegiatan yang diarahkan kepada pencapaian suatu tujuan dengan pemanfaatan semaksimal mungkin sumber-sumber yang ada. Demikian dikatakan oleh Dr.R. Makharita. Serangkian kegiatan yang diarahkan kepada pencapaian tujuan tidak bisa terlepas dari sebuah kerja sama manusia dua orang atau lebih dan secara operasianal juga tidak dapat terpisah dari fungsi opeasioanla administrasi baik yang menyangkut perencanaan, ketatausahaan, keuangan dan human relation ( hubungan antar manusia). Di sisi lain bahwa kegiatan-kegiatan manajerial tidak mungkin akan berjalan jika tidak ada leader ship ( Kepemimpinan ) yaitu suatu upaya bagaimana seseorang mampu memberikan pengaruh kepada orang lain sehingga orang lain mau dan mampu melakukan sesuatu sebagai sebuah kegiatan guna tercapainya tujuan organisasi , sampai di sini lagi-lagi membutuhkan kerja sama antar dua atau lebih manusia. Namun diketahui pula bahwa seorang pemimpin harus mampu mengambil sebuah keputusan yang tepat dan cepat, tidak memilki sifat keragu-raguan dan mampu memberikan keuntungan bagi semua pihak. Untuk mencapai hal ini maka perlunya ada hubungan antara manusia secara baik dan wajar sehingga seorang pemimpin sebelum melakukan keputusan harus didahuli dengan melakukan komunikasi kepada pihak-pihak terkait agar keputusan yang diambilnya menjadi keputusan yang seimbang.
Melihat betapa eratnya hubungan pegaruh antara administrasi, organisasi dan manajemen, maka administrasi seara fungsioanal harus mampu memelihara dirinya sehingga tidak tercemar oleh pengaruh lain yang akan menjadikan dirinya menjadi sosok yang dihinggapi oleh penyakit-penyakit yang berakibat akan mempengaruhi jalannya sebuah organisasi baik organisasi pemerintah yang biasa dikenal sebagai organisasi birokrasi maupun organsiasi non pemerintah yang bergerak dibidang finansial atau yang biasa disebut sebagai organisasi provit, maupun juga organisasi soaial lainnya.

3. Reformasi Administrsi.

Bicara tentang reformasi administrasi, kita akan lebih mudah mengkaitkan administrasi ini dengan birokrasi pemerinthan, mengapa? karena birokrasi pemerintahan adalah organisasi yang secara fungsional sangat berkaitan dengan masalah-masalah aministrasi. Dengan pemahaman lain, pembahasan tentang reformasi adminitrasi lebih kepada pembahasan terhadap reformasi birokrasi, karena dalam adminitrasi birokrasi inilah seringnya terjadi permasalahan-permasalahan adminitrasi yang menjemukan.
Kita semua mengenal bagaimana para birokrat dalam menjalankan administrasi birokrasinya dan bagaimana sepak terjang mereka yang kadang-kadang sangat memalukan. Sebuah ilustrasi tentang birokrasi dinyatakn oleh Kristian Widya Wicaksono ( 2006 ) bahwa mereka pegawai negeri sipil adalah sosok manusia yang bekerja santai, pulang cepat dan mempersulit urusan serta identik dengan sebuah adagium” Mengapa harus dipermudah apabila dapat dipersulit” Gambaran umum tersebut sudah sangat melekat dalam benak publik di Indonesia sehingga banyak kalangan yang berasumsi bahwa perbedaan antara dunia preman dengan brirokrasi hanya terletak pada pakaian dinas saja. Pernyataan seperti ini tentunya menjadi kepihatinan bagi semua pihak terutama bagi para pengambil keputusan birokrasi. Oleh karena itu perlu adanya sebuah reformasi di kalangan birokrasi dalam melaksanakan adminitrasi pemerintahan. Jika hal ini tidak segera ditangai maka persepsi publik terhadap apparatur pemerintahan akan selalu negatif, akibatnya pemerintah berada pada posisi yang sulit karena tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah menjadi pudar, sementara masyarkat atau publik adalah sebagai mitra pemeritah dalam melaksanakan pembangunan pemeintahan di semua sektor pembangunan.
Dalam kontek ini seara umum dapat digambarkan bagaimna sepak terjang birokrasi yang negatif dalam menjalankan adminitrasinya sebagai berikut :
a. Proses pekerjaan sering kali tidak dapat diperkirakan dan langkah yang diambil oleh para birokrat juga terkesan lamban.
b. Menunjukkan pavoritisme dalam perlakuannya terhadap klien tertentu dan diskriminasi pada yang lain.
c. Memperkejakan kepada staf yang menunjukkan ketertarikan yang rendah terhadap standar profesionalisme dan kualitas pelayanan program.
d. Mempromosikan staf berdasarkan pavoritisme politis atau kriteria yang tidak profesional.
e. Menciptakan timbunan kertas yang tidak berguna dan tidak mampu menyesuaikan diri secara relevan dengan perkembangan sosial yang ada.
Dalam kontek birorasi pemerintahan, sebgai ujud reformasi adminitrasi maka aministrasi birokrasi harus dapat mnunjukkan sejumlahn indikasi berupa prilaku-prilaku yang megarah kepada indikasi sebagai berikut :
a. Proses pekerjaan dilakukan dengan stabil giiat dan semangat.
b. Melakukan individu yang berhubungan dengannya adalah dengan secara adil dan berimbang.
c. Mepekerjakan dan mempetahankan pegawai berdasarkan kualifikasi profesional dan lebih berorientasi pada keberhasilan program.
d. Mempromosikan staf berdasarkan sitem merit dan hasil pekerjaan baik yang dapat dibuktikan. Melakukan pemeliharaan terhadap prestasi yang sudah dicapai sehingga dapat segera bangkit bila menghadapi keterpurukan.
Jika prilaku brokrasi mengindikasikan hal-hal seperti tersebut, maka dimungkinkan akan terjadi sebuah reformasi administrsi birokrasi, dan citra borokrasi mejadi lebih baik dan lebih transfaran, sementra publik akan secara berlahan mengubah persepsi mereka terhadap para birokrat dari persepsi yang negatif kepada persepsi yang posisif. Ini benar-benar bisa tejadi jika prilaku yang penulis sebutkan diatas dilakukan dengan konsisten dalam konsisi apapun, karena prilau tesebut boleh dikatakan sebagai prilaku dasar dalam reformasi administrasi birokrasi. Namun jika prilku terebut tiak dapat dipetahankan maka akibatnya akan lebih fatal dan sulit untuk dibenahi lagi.

4. Penyakit-penyakit administrasi.

Seperti telah penulis uriakan pada permasalahan diatas penyakit adminitrasi ternyata sudah cukup memjalar di kalangan organisasi baik organsisasi pemerintahan amaupun organisasi non pemerintahan. Salah satu penyebab yang menimbulkan penyakit administrasi adalah dikarnakan adanya prilaku-prilaku birokrasi yang negatif misalnya : Proses pekerjaan sering kali terkesan lamban, menunjukkan pavoritisme dan diskriminasi, ketertarikan yang rendah terhadap standar profesionalisme dan kualitas pelayanan program, mempromosikan staf tidak berdarar pada merit system dan profesional, tidak mampu menyesuaikan diri secara relevan dengan perkembangan sosial yang ada.
Apabila ditelusuri lebih jauh, gejala penyakit dalam birokrasi, menurut Sondang P. Siagian, bersumber pada lima masalah pokok. Pertama, persepsi gaya manajerial para pejabat di lingkungan birokrasi yang menyimpang dari prinsip-prinsip demokrasi. Hal ini mengakibatkan bentuk patologi seperti: penyalahgunaan wewenang dan jabatan menerima sogok, dan nepotisme. Kedua, rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional, mengakibatkan produktivitas dan mutu pelayanan yang rendah, serta pegawai sering berbuat kesalahan. Ketiga, tindakan pejabat yang melanggar hukum, dengan ”penggemukan” pembiayaan, menerima sogok, korupsi dan sebagainya. Keempat, manifestasi perilaku birokrasi yang bersifat disfungsional atau negatif, seperti: sewenang-wenang, pura-pura sibuk, dan diskriminatif. Kelima, akibat situasi internal berbagai instansi pemerintahan yang berakibat negatif terhadap birokrasi, seperti: imbalan dan kondisi kerja yang kurang memadai, ketiadaan deskripsi dan indikator kerja, dan sistem pilih kasih.
Lebih lanjut Sondang P. Siagian (1988) menuliskan ada 11 patologi birokrasi yang dapat dijumpai sebagai penyakit kronis administrasi, yaitu :



a. Penyalahgunaan wewenang dan tanggung jawab.

Secara truktural tingkatan-tingkatan dalam organisasi birokrasi memiliki wewenang dan tangggung jawab dengan kapasitas yang berbeda-beda. Manusia yang memegang wewenang dan tanggung jawab dalam struktur birokrasi tersebut terkadang tidak seutuhnya menjalankan wewenang dan tanggung jawabnya secara profesional, namun sebaliknya wewennag dan tanggung jawabnya disalahgunakan untuk sekedar memperoleh keuntungan pribasi dan mengesampingkan kepen-tingan organisasis secara keseluruhan. Akibatnya kewenangan dan tangung jawabnya menjadi rapuh dan menjadi samar-samar dan akhirnya organisasi pemerintahannya dikesampingkan, sementara masyarakat yang mustinya memperoleh pelayanan dengan benar harus memenuhi tuntutan yang didinginkan oleh yang betanggung jawab walaupun sebenanya tidak sesuai dengan prosedur yang sebenranya.

b. Pengaburan masalah.

Betapa bayaknya masalah yang dihadapi teruama dalam proses aministrasi birokrasi pemerintah misalnya masalah kemiskinan, masalah lapangan keja, masalah hukum dan sebaginya, masalah yang dihadapi kadanag-kadang tidak tuntas diselesaikan karena masalah terebut dikaburkan. Salah satu contoh masalah yang dikburkan adalah masalah wanita tuna susila (WTS) sebagai sebuah julukan yang mengerikan di kalangan masyarakat sebagai sebuah konotasi bagi wanita yang sudah sangat rusak baik moral etika maupun agama dan keimannya, kata WTS ini kemudin disamarkan dengan kata pekerja sex komersial ( PSK ), padahal wanita macam ini adalah wanita yang secara moral tidak benar, secara agama adalah pebuatan maksiat. Dengan perubahan kalimat WTS menjadi PSK ini merupakan usaha pengkaburan istilah sehingga memberi ruang bagi WTS untuk tetap exis dan mendapatkan penghargaan secara moril, padalah perbuatan semacam ini harus di berantas samapai ke akar-akarnya. Ini sebabnya maka masalah WTS ini menjadi permasalahan yang tidak pernah tuntas dapat diselesaikan.

c. Indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme

Kita semua mengetahui bahwa pada masa orde baru yang pimpimpin oleh Presiden Suharto, pemerintahannya menuai sebuah penykit aministrasi yang sudah sangat mengakar dan kronis di kalangan birokrasi pemerintahan berupa penyakit koprupsi, kolusi dan nepotisme, bahkan konon pada saat itu ( pada dekade thun 1997 an ) korupsi di Indonesia telah masuk keperimgkat nomor 2 atau nomor 3 di dunia, demikian pula dalam masalah kolusi dan nepotisme. Penyakit semacam ini merupakan venomena yang sangat sulit diberantas, sampai masa reformasipun tak kunjung berakhir. Pada Pemerintaah SBY sekarang ini betapa gigihnya para penegak kebenaran melalui institusinya yang dikenal dengan Tim Pemberantasan Korupsi, berupaya selalau mengidentifikasi para pelaku korupsi di negeri ini. Sudah sedemikian gencarnya para koruptor kelas kakap sampai kelas teri teridentifikasi oleh Tim Pembereantasan Korupsi dan mereka memperoleh ganjaran dari perbuatan mereka, namun masih tak jera juga para pelaku korupsi meraja lela di mana-mana.

d. Indikasi mempertahankan status quo.

Diantra penyakit administrasi yang biasa berkembang juga adalah status quo. Status quo bisa diartikan sebagi sebuh usaha manusia yang ingin mempertahankan sistem atau tatanan yang sudah melekat selama kurun waktu yang lama. Keinginan manusia seperti ini biasa terjadi di kalangan birokrasi, mereka menginginkan kebiasaan kebiasaan lama tetap tepelihara walupun sesungguhnya kebiasaan itu tidak lagi relevan dengan sistem yang berjalan kemudian. Sebagai contoh ketika pemerintahn orde baru di bawah pimpinan Suharto tumbang, maka tidak sedikit para kroni yang dekat dengannya ingin mempertahankan sitem yang telah berjalam selama itu, walaupun mereka harus berhadapan dengan masa berikutnya sebagai masa reformasi. Ini artinya bahwa mereka para kroni Suharto ingin mempetahankan status quo. Contoh yang lain ketika seorang pejabat dalam jabatan birokrasi pemerintah digantikan oleh pejabat yang lain dimana maksud dan tujuan pergantian pejabat yng baru adalah agar dapat melakukan perubahan sistem kepemimpinan dan sitem kerja yang lebih baik dan transfaran bagi para pegawai yang ada di bawahnya, maka pegawai lama yang berada di bawah jabatan yang digantikan merasa gerah dan tidak mau atau enggan melakukanm perubahan sebagaimana yang diinginkan. Maka pegawai itu adalah termasuk orang yang mempertahan ststus quo. Dan masih banyak contoh-contoh yang lainnya.

e. Empire bulding (membina kerajaan)

Ada sabahagian kelompok kerja atau unit kerja tertentu yang ingin memunculkan kebiasaan yang berlaku di kerajaan, dimana pimpinan tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun, pimpinan adalah seseorang yang wajib diikuti, dia tidak pernah salah, ucapannya adalah sebagai penetu hitam dan putihnya sebuah organisasi. Seseorang yang memimpin dengan cara seperti ini sesungguhnya sudah tidak sesuai lagi dikembngkan di masa sekaang ini, karena pemimpin bukanlah seorang raja yang selalu benar dan bisa bebuat apa saja kepada bawahannya. Namun demikian masih saja kadang terjadi dan berkembang dimana seorang pemimpin masih berprilku sebgai seorang raja, baik juga jik beprilaku sebagi seorang raja yang adil, bijaksana dan demikrastis yang diagumi dan dihormati disamping memilki harismatik yang tinggi. Namun jika bukan sifat-sifat ini dimiliki oleh seorang pemimpin, maka sungguh merupakan sebuah penyakit yang perlu disembuhkan dengan segera karena sikap seperti ini akan sangat menggnggu sitem demokrasi dan akan mengangu pula perkembangan organisasi secara wajar.



f. Ketakutan pada perubahan, inovasi dan resiko.

Penyakit takut terhadap perubahan, inovasi dan resiko ini hampir mirip dengan mempertahankan statu quo, namun ini lebih kepada persoalan mental seorang pegawai yang tidak siap bekerja, dan juga persoalan pegawai yang tidak memiliki wawasan yang luas yang disebbkan apakah karena budaya hidup yang selama ini berkembang pada dirinya atau karena tingkat pendidikan dan latiahn yang memang belum dipersiapkan pada pegawai itu. Oleh karna itu pegawai menjadi was-was dan tidak siap untuk menerima perubahan, tidak siap untuk berinovasi dan tidak siap untuk menerima resiko dalam bekerja. Mental seperti ini merupakan penyakit yang akan menggangu bagi berkembngnya organisasi dan sitem kerja yang baik, dan jika ini tidak segara ditangi akan beakbait yang buruk bagi proses kerja adminitrasi dan mengakibatkan timbulnya peyakit adminitrasi, yaitu tidak bekembangnya sebuah proses dinamika kerja administrasi yang wajar.

g. Ketidak-pedulian Pada Kritik Dan Saran.

Kritik dan saran merupakan sebuah fenomena yang biasa terjadi dan biasa dilakukan dalam kancah organisasi baik organisasi pemerintahan maupun non pemerintah. Namun dimaklumi bahwa kenyatan yang terjadi ketika seseorang menduduki jabatan apalagi ia sudah lama menduduki jabatan itu, terkadang timbul anggapan bahwa dirinya adalah seorang yang paling hebat, paling tau, dan paling benar, sehingga tertutup baginya untuk menerima kritik dan saran bahkan tidak lagi perduli terhadap kritik dan saran dari rang lain. Sikap seperti ini sesungguhnya merupakan penyakit administrasi yang sulit disembuhkan, terkeculi jika telah tumbuh kesadaran pada diri seseorang akan keterbatasan dirinya sebagai manusia biasa. Sikap pemimpin yang seperti ini akbiatnya akan mempengaruhi organisasi menjadi organisasi yang sulit berkambang.

h. Takut Mengambil Keputusan.

Merupakan salah satu tugas pemimpin organisasi adalah mengambil keputusan. Tidak jarang seorang pimpinan organisasi yang tak mampu megambil keputusan, atau lamban dalam mngambil keputusan. Seseorang pemimpin yang memiliki mental ragu-ragu tidak memilki dasar-dasar atau landasan keja atau prinsip kerja yang kuat bahkan tidak memahmi bagimana tehnik-tehnik pengambian keputusan maka dengan sendirinya akan menimbulkan sifat yang selalau ragu-ragu dalam pengambilan keputusan. Sifat ini tidak boleh terjadi dalam lingkup organisasi birokrasi karena akan berakibat pada kerja organisasi yang lamban, sementara adminitrasi birokrasi dituntut untuk kerja cepat, tepat dan lugas dalam menyelesaikan segala persolanan organisasi.

i. Kurangnya Kreativitas dan Eksperimentasi.

Kreaktivitas dan eksperimentasi bagi para pegawai di lingkungan birokrasi adalah merupakan hal yang sangat dibutuhkan. Kreaktiv adalah sebuah ketrampilan dari pegawai yang tergabung antara pemikiran-pemikiran baru atau nalar untuk melakukan sesuatu yang baru guna memperlancar pekerjaan-pekerjan karena adanya persoalan atau masalah baru yang berkaitan dengan pekerjaannya dan dia mau melakukan experimen atau percobaan-percobaan dari kreaktivitas yang di ciptakannya itu. Disayangkan bahwa di lingkungan brokrasi para pegawainya kurang kreaktif dan kurang eksperimentatif sehinga pekerjaan terkesan monoton, apabila ada persolalan maka akan berhenti sampai di situ saja tidak ada inisiatif untuk melakukan kreasi baru untuk menyelesaikan persolan yang timbul bahkan terkesan pegawai menhidar dari persoalan yang dihadapinya. Ini merupakan penyakit yang sering terjadi di kalangan birokrasi. Maka tidak heran jika birokrasi terkesan lanban dalam pekerjaannya.

j. Kredibilitas Yang Rendah, Kurang Visi Yang Imajinatif.

Kredibilitas adalah alasan yang masuk akal untuk bisa dipercayai. Seorang yang memiliki kredibilitas berarti dapat dipercayai, dalam arti kita bisa memercayai karakter dan kemampuannya. Sokrates mengatakan, "Kunci utama untuk kejayaan adalah membuat apa yang nampak dari diri kita menjadi kenyataan." Jadi kreibilitas yang rendah adalah seseorang yang sulit dipercaya tentag kemmpuannya terutama untuk bekerja dengan profesional. Karena kredibilitas rendah maka secara melekat tidak akan memilki visi dan imajinasi yang kuat. Jika ini dimiliki oleh para pegawai maka sungguh akan menghambat kerja administrasi secara baik dan ini artinya adalah sebuah penyakit dalam proses kerja administrasi. Akibat dari penyakit ini perkembangan organisasi berikutnya adalah sebuah organsasi yang kurang mendpatkan kepercayaan dari publik dan akibat berikutnya adalah pamor oragniasi menurun. Jika ini terjadi dalam oarganisasi kepemerintahan maka sangat diasayangkan, karena apa, karena organisasi pemerintah seharusnya adalah organisasi yang memilki kewibawaan dan yang dipecaya oleh publik.

k. Minimnya Pengetahuan Dan Keterampilan.

Pengetahuan dan ketrampilan merupakan penyempurna bagi seseorang dalam melaksanakan tugas kejanya, tapi juga bahwa pengetahuan dan ketrampilan merupakan hal yang sangat fital bagi baik dan tidaknya sebuah pekerjan dapat dikerjakan. Seseorang yang bertugas untuk membuat sebuah laporan dari sebuah kegiatan besar misalnya seminar nasional, maka ia harus mengetahui tentang bagaimana pembuatan laporan yang baik dan benar disamping ia harus sudah melalui pelatihan-pelatihan yang berkait dengan pekerjaannya itu. Banyak pegawai yang ditugaskan pada suatu tugas tertentu, namun dia tidak berpengetahuan tentang tugas itu, maka perkerjaannya tidk akan berjalan dengan baik. Ini sering kita saksikan seseorang ditugaskan bukan pada kompetensi yang dia miliki, sehingga timbul kejenuhan dan pekerjaan tidak dikerjakan, akbatnya organisasi megalami kerugian yang tidak sedikit.


5. Upaya-Upaya Penanggulangan Penyakit Adminitrasi.

a. Upaya penanggulangan melalui reposisi manusianya.

Untuk melakukan penanggulangan terhadap penyakit administrasi yang marak dikalangan organisasi birokrasi, maka yang utama dan perama adalah melakukan diagnosa tentang penyebab-penyebab timbulnya penyakit adminitrasi. Penulis melihat bahwa masalah pokok dari penyakit administrasi adalah berasal dari manusianya sendiri. Sementara manusia memilki mental, prilaku, sifat dan karakter yang berbeda-beda. Keperbedaan sifat dan karater manusia ini bisa dipengaruhi oleh jenetika, oleh lingkungan dan oleh bakat-bakat yang dibawa sejak lahir yang perlu dikembangkan melalui pendidikan dan pengajaran. Ada tiga teori yang menjelaskan bahwa pembentukan sikap mental, prilaku dan kareakter manusia, yang pertama adalah teori genetika, kedua teori sosial dan ketiga teori ekologis. Teori jenetika ini mengatakan bahwa seseorang sejak lahir telah membawa prilaku, karakter dan bakat seperti atau dengan orang tua yang melahirkn mereka, jika orang-orang yang melahirkan mempunyai sikap mental moral dan karakter yang kurang baik, maka anak-anaknya akan mempunyai sikap mental dan karakter yang menyerupai atau mirip seperti yang melahirkannya. Sementara teori sosial mengatakan bahwa seseorang akan memiliki karakter dan sikap serta mental karena pengaruh lingkungan sosial yang ada disekitarnya. Adapun teori yang ketiga mengatakan bahwa dua teori tersebut tidak selamanya benar artinya bahwa prilaku dan mental manusia tidak selamanhya akan dipengaruhi oleh jenetika dan tidak selamanya pula dipengaruhi oleh lingkungan sosial di sekitarnya, oleh karena itu maka timbullah teori ekoligis. Teori ekologi manusia ini menyatakan bahwa peradaban dan tatanan sosial ekonomi dan budaya masyarakat melakukan reposisi dan restrukturisasi terhadap kondisi sumber daya alam dan lingkungan hidup. Walupun sikap mental dan prilaku manusia sesungguhnya telah dibawa sejak lahir, namun hal ini tidak akan berkembang tanpa adanya proses pendidikan dan proses pengaruh lain seperti adanya lingkugan.
Atas dasar pemikiran dari tiga teori tersebut terseut, maka secara umum dapat dikatakan bahwa untuk menagani persoalan prilaku dan metal yang tidak baik adalah dengan melakukan eksekusi kepada semua orang sebagai obyek pendidikan agar dari sejak lahir hendaknya manusia sudah terbiasa dengan pebuatan perbauatan dan baik, memilki prilaku yang baik dan moral serta etika yang baik, ini dapat dieksekusi melalui pendidikan dengan tiga lingkungan pendidikan yakni pendidikan keluarga, pendidikan sekolah dan pendidikan masyarakat atau sosial. Keiga lingkungan pendidikan itu merupakan lingkungan pendidikan yang dapat diaplikasikan melalui model-model pendidikan, baik dalam keluarga maupun sekolah pada semua tingkatan, dapat pula diseksekusi melalui pendidikan sosial. Model-model tersebut dapat dilakukan misalnya di dalam sebuah rumah tangga sudah terbiasa dengan pendidikan kritik dan saran yang dalam bahasa agama adalah “ tawshaou bilhaq tawashou bisshobr”, di sekolah baik pada tingkat dasar, menengah maupun perguruan tinggi perlu adanya perubahan sitem belajar yaitu bagaimana seseorang murid atau siswa atau mahasiswa memperoleh materi secara teori dan praktik tetang bagaimana menanggulangi praktek korupsi, menanggulangi mental, prilaku dan kareakter yang tidak baik dan sterusnya, demikian juga lingkungan masyarakat harus berperan serta mendukung untuk itu baik lingkungan masyarakat terdekat dimana manusia hidup, lingkugan organisasi dan lingkungan kerja seseorang. Karena betapun seseorang sudah dieksukesi melalui pendidikan dan keluarga, namun pengalaman manusia hidup menunjukkan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang dialminya selama pendidikan sekolah dan pendidikan kelaurga dimana lingkungan memaksa dirinya untuk berprilaku dan bermoral yang tidak seharusnya, maka secara berlahan ia akan larut juga dengan prilaku yang sesunggunya tidak sesuai dengan kebiasaan yang selama ini ia alamai di sekolah dan keluargnya. Maka lingkungan dalam hal ini sangat penting juga untuk mengarahkan nanusia kepada pendidikan prilaku dan mental yang baik.
Berkenaan dengan penyakit administrasi maka upaya pertama adalah bagaimana penyebab yng pertama berup pengaruh lingungan yang tidak relevan dengan reformasi administrasi harus dihindarkan sedemikain ruma, agar manusia yang menjalankan proses kerja administrasi dapat dengan konsisten melakksanakan kerjanya dengan baik dan benar guna mendukung kerja pemerintahan yang baik.

b. Pembenahan Administrasi secara Menyeluruh.

Untuk membenahi administrasi secara keseluruhan menurut hemat penulis ada tiga hal yang penting sebagai berikut :
Pertama, perlu adanya reformasi administrasi yang global. Artinya reformasi administrasi bukan hanya sekedar mengganti personil saja, bukan hanya merubah nama intansi tertentu saja, atau bukan hanya mengurangi atau merampingkan birokrasi saja namun juga reformasi yang tidak kasat mata seperti upgrading kualitas birokrat, perbaikan moral, dan merubah cara pandang birokrat, bahwa birokrasi merupakan suatu alat pelayanan publik dan bukan untuk mencari keuntungan.
Kedua pembentukan kekuatan hukum dan per-Undang-Undangan yang jelas. Kekuatan hukum sangat berpengaruh pada kejahatan-kejahatan, termasuk kejahatan dan penyakait-penyakit yang ada di dalam birokrasi. Kita sering melihat bahwa para koruptor tidak pernah jera walaupun sering keluar masuk buih. Ini dikarenakan hukuman yang diterima tidak sebanding dengan apa yang diperbuat. Pembentukan supremasi hukum dapat dilakukan dengan cara (1) kepemimpinan yang adil dan kuat (2) alat penegak hukum yang yang kuat dan bersih dari kepentingan politik (3) adanya pengawasan tidak berpihak dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahan dalam birokrasi.
Ketiga ialah dengan cara menciptakan sistem akuntabilitas dan transparansi. Kurangnya demokrasi dan rasa bertanggung jawab yang ada dalam birokrasi membuat para birokrat semakin mudah untuk menyeleweng dari hal yang semstinya dilakukan. Pengawasan dari bawah dan dari atas merupakan alat dari penciptaan akuntabilitas dan transparansi ini. Pembentukan E-Government diharapkan mampu menambah transparansi sehingga mampu memperkuat akuntabilitas para birokrat.
c. Good Governance Sebagai Agenda Reformasi
Semangat reformasi politik yang mulai bergulir di Indonesia sejak tahun 1997 adalah merngubah karakteristik tatanan politik yang telah terpola selama beberapa dekade. Sentralisme penyelenggaraan pemerintahan diubah juga menjadi tatanan yang desentralistik, dan otoritarianisme ingin diubah menjadi tatanan pemerintahan yang demokratis. Kesemena-menaan penguasa diubah menjadi keperpihakan terhadap rakyat. Melakukan perubahan-perubahan ke arah tersebut tidak bisa berjalan dengan sendirinya. Tapi kenyataan masih difahami sebagai hasil tarik ulur antara para pelaku politik utama. Adanya persoalan tarik ulur ini merupakan pembuktian bahwa reformasi belum dijlankan secara total, akan tapi masih setengah hati. Kondidisi seperti ini tidak mendukug tercapainya sebuah agenda reformasi yang menyeluruh. Akibatnya tidak akan tecapai sebuah pemerintahan yang baik. Ukuran yang populer saat ini untuk melihat baik tidaknya penyelenggaraan pemerintahan dirumuskan berdasarkan idealitas 'otonomi' dan 'demokrasi'.
Mar'ie Muhammad (Media Transparansi 1998) menyatakan bahwa good governance itu ada jika pembagian kekuasaan ada. Jadi ada disperse of power, bukan concentrate of power. Good governance sama dengan disperse of power, pembagian kekuasaan plus public accountability plus transparancy. Jadi kalau tidak ada prinsip ini, good governance maka penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan biasanya itu menimbulkan korupsi. Dan corrupt itu selalu abuse of power. Semakin tinggi kualitas dari good governance, semakin rendah korupsi. Sebaliknya semakin rendah kualitas good governance, korupsinya semakin tinggi.
Dari penyataan di atas tergambar dengan jelas beta prinsip-prinsip good governance dapat mencegah patologi birokrasi terutama dalam hal korupsi, kolusi dan nepotisme. Untuk lebih detailnya prinsip-prinsip good governance dapat merubah patologi birokrasi, maka dapat diuaraikan sebagai berikut :
• Participation. Melalui prinsip ini akan masyarakat terlibat dalam pembuatan keputusan yang bangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartsipasi secara konstruktif, sehingga dengan demikian maka pemerintahan tidak menjadi otoriter dalam mengambil keputusan. Keputusan yang dihasilakan merupakan representasi dari keinginan masyarakat dan tiak dapat diintervensi oleh pihak-pihak yang ingin memanfaatkan pemerintah.
• Rule of law. Supremasi hukum merupakan langkah yang harus diambil untuk meminimalisir atau menghilangkan praktek-praktek patologi dalam birokrasi. Dengan penegakan hukum yang baik maka indikasi untuk melakukan kesalahan akan terhapus karena para birokrat akan merasa takut dengan ancaman hukum.
• Transparancy. Melalui prinsip transparansi maka segala hal yang dilakukan oleh pemerintah atau birokrat dapat di kontrol oleh masyarakat melalui informasi yang terbuka dan bebas diakses. Transparansi ini mendorong birokrasi untuk senantiasa menjalankan aturan sesuai ketentuan dan perundang-undangan, karena bila tidak sasuai masyarakat pasti mengetahui dan melakukan penututan.
• Responsiveness. Pradigama baru birokrasi menekanakan bahwa pemerintah harus dapat melayani kebutuhan masyarakat umum dan memberi respon terhadap tuntutan masyarakat dalam meningkatkan pembangunan di segal bidang. Patologi yang selama ini terjadi dimana pemerintah dilayani oleh masyarakat, maka dengan prinsip responsiveness pemerintah harus sedapat mungkin memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat dan stakeholders yang berkembang.
• Effectiveness and efficiency. Pemborosan yang terjadi dalam praktek pengelolaan organisasi birokrasi dapat diminimalisir oleh prinsip ini. Terutama dalam pengelolaan anggaran pemerintah.
• Accountability. Melalui pertanggungjawaban kepada publik maka birokrasi menjadi hati-hati dalam bertindak, dengan akuntabilitas publik pemerintah harus memberikan keterangan yang tepat dan jelas tentang kinerjanya secara keseluruhan.
• Strategic vision. Melalui straegi visi maka akan tumbuh dalam setiap birokrat akan nilai-nilai idealisme dan harapan-harapan organisasi dan negara untuk masa yang akan datang. Nilai-nilai dan harapan-harapan ini akan memeberikan kesan praktek pelaksaan pekerjaan birokrasi yang lebih menantang.

IV. KESIMPULAN.

1. Administrasi sendiri juga tidak selamanya dapat berjalan sebagaimana mestinya, karena adanya pengaruh negatif faktor-faktor lingkungan baik internal maupun ekternal administrasi dan manajemen. Pengaruh negatif akan menimbulkan hambatan-hambatan adminitrasi, dan hambatan ini tekadang bisa sangat kuat sehingga sangat merugikan bagi proses administrasi. Kondisi semacam ini disebut sebagai penyakit adminitrasi.
2. Penyakit administrsi dijumpai dalam proses kerja administrasi terutama di jajaran birokrasi di Indonesia.
3. Gejala penyakit administrasi dalam birokrasi, pada prinsipnya disebabkan dari persepsi gaya manajerial para pejabat di lingkungan birokrasi yang menyimpang dari prinsip-prinsip demokrasi, rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana, tindakan pejabat yang melanggar hukum, manifestasi perilaku birokrasi yang bersifat disfungsional atau negatif, dan akibat situasi internal berbagai instansi pemerintahan yang berakibat negatif terhadap birokrasi.
4. Prinsip dasar penyebab penyakit administrasi akan berimplikasi kepada penyakit-penyakit kornis administrasi sebagai berikut : 1). Penyalahgunaan wewenang dan tanggung jawab, 2). Pengaburan masalah 3). Indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme 4). Indikasi mempertahankan status quo, 5). Empire bulding (membina kerajaan), 6). Ketakutan pada perubahan, inovasi dan resiko, 7). Ketidak-pedulian Pada Kritik Dan Saran, 8). Takut Meng-ambil Keputusan, 9). Kurangnya Kreativitas dan Eksperimentasi, 10). Kredibilitas Yang Rendah, Kurang Visi Yang Imajinatif, dan 11). Minimnya Pengetahuan Dan Keterampilan.
5. Untuk menanggulangi penyakit administrasi, ada tiga hal yang terpening : pertama upaya penanggulangan melalui reposisi manusianya yaitu
melakukan eksekusi kepada semua orang sebagai obyek pendidikan agar dari sejak lahir, dieksekusi melalui pendidikan dengan tiga lingkungan pendidikan yakni pendidikan keluarga, pendidikan sekolah dan pendidikan masyarakat atau sosial yang kedua adalah pembenahan administrasi secara menyeluruh termasuk melakukan upgrading kualitas birokrat, perbaikan moral, dan merubah cara pandang birokrat, bahwa birokrasi merupakan suatu alat pelayanan publik dan bukan untuk mencari keuntungan, pembentukan kekuatan hukum dan per-Undang-Undangan yang jelas, menciptakan sistem akuntabilitas dan transparansi. Ketiga Good Governance Sebagai Agenda Reformasi. Ini dapat dilakukan jika prinsip-prinsip Good Governance dapat dijalankan dengan baik. Prinsip prinsip yang diamksudkan adalah : Participation, Rule of law, Transparancy, Responsiveness, Effectiveness and efficiency, Accountability, Strategic vision.

5. DAFTAR PUSTAKA

Handayaningrat Soewarno, Pengantar Ilmu Administrasi dan Manajmen, CV Haji Masagung, Jakarta,1990.
Leonard D. White, Introduction to the study of Public Administration, Mc. Millian Co. N.Y. Fort Ed
Llihat situs http://arrosyadi.wordpress.com/2009/02/06/patologi-birokrasi/
Llihat situs http://rismankudratumar.blogspot.com/2008/11/perubahan-patologi-birokrasi-ke-etika_10.html
Lihat situs http://arrosyadi.wordpress.com/2009/02/06/patologi-birokrasi/
Lihat situs http://mahmudisiwi.net/definisi-ekologi-manusia/
Makmur,H Filsafat Adminitrasi,Sinar Grafika Ofset, Jakarta, 2007.
Nawawi Hadrawi, Prof., Dr. H., dkk, Ilmu Administrasi, Balai Aksara, Jakarta, 1994
P Siaian Sondang, Prof., Dr.MPA, Filsaft Adminitrasi, PT Bumi Aksaran, Jakarta, 2006.
Tirtarahardaj Umar, dkk, Pengantar Pendidikan, Proyek P2TK Direktorat Jendeal Pendidikan Tinggi Departemn Pendidikan Dan Kebudayaan, 1994.
Widya Wicaksono Kristian, Administrasi dan Birokrasi Pemerintahan, Graha Ilmu Jogjakarta, 2006.